Sufi tidaklah sekedar menukil orang-orang Persia, Kristen, Yunani, atau yang lainnya; karena tasawwuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu sekalipun terdapat perbedaan bangsa dan rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan rohaniah, memang biasa saja sama, meskipun tidak terdapat kontak diantara keduanya. Ini berarti adanya benang merah diantara pengalaman para sufi, betapapun berbedanya interpretasi antara seorang sufi yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan beragamnya budaya dimana ia hidup.
Atas dasar ini maka terdapatnya kesamaan antara tasawwuf dengan berbagai bentuk mistisisme asing tidak selalu berarti bahwa gagasan tasawwuf ditimba dari sumber-sumber lain. Yang lebih tepat ialah bahwa gagasan tasawwuf muncul dari kaum muslimin sendiri. Sebab pengetahuan mereka sepeti kata mereka, muncul dari intuisi dan pemahaman mereka sendiri. Sebagian orientalispun telah meninjau kembali dan menerima kebenaran diatas. Contohnya antara lain adalah R.A. Nicholson yang akhirnya merujukkan tasawwuf pada sumber Islam.
Abu Al-A’la Affifi dalam kata pengantarnya pada terjemah Bahasa Arab kajian-kajian sikap R.A. Nicholson, Fi At-Tasawwuf Al-Islamy Wa At-Tariqah, menyatakan bagaimana perubahan sikap R.A. Nicholson terhadap masalah pertumbuhan tasawwuf. Perubahan ini terlihat jelas dalam Encyclopedia of Religion and Ethics. Dalam artikelnya Nicholson secara terus-terang mengakui adanya faktor Islam sebagai salah satu landasan pertumbuhan dan perkembangan tasawwuf. Karena itu dia menolak kedua terori yang dikemukakan oleh Von Kramer dan lain-lainnya, bahwa tasawwuf ditimba dari sumber india dan persia dan karakteristik terpenting tasawwuf ialah Wahdatul Wujud (Pantheisme), sembari menegaskan bahwa tidak semua tasawwuf menganut doktrin tersebut. R.A. Nicholson menolak terdapatnya corak pantheisme ini, sekalipun pada al-Hallaj ang diriwayatkan pernah berkata: “Aku inilah yang maha benar” (Ana al-Haq), atau umar ibn Al-Faraid yang pernah berkata “Aku inilah dia” (Ana Hua), atau bahkan abu Yazid Al-Busthami (188-261 H) yang diriwayatkan pernah berkata: “Maha suci aku, betapa Maha besar Aku (Subhani, Ma A’dzama Sya’ni). Menurut R.A. Nicholson aliran panteisme dalah tasawwuf justru baru muncul pada masa Ibn ‘Arabi yang meninggal pada 638 H.
“Semua pemikiran yang dipandang sebagai unsur-unsur luar yang merembes dalam kalangan kaum muslimin ataupun hasil kebudayaan asing yang non-Islam, sebenarnya muncul dari Asketisme (Zuhd) maupun tasawwuf yang tumbuh dalam Islam itu sendiri, yang keduanya benar-benar bercorak Islam. Bahkan Nicholson dengan jujur mengakui keterpengaruhan dunia Barat Kristen oleh tasawwuf, sebagaimana katanya: “Mengenai hal-hal yang berkenaan dengan mistisisme, tentang aspek-aspek psikologis dan teoritisnya, sampai saat ini barat masih banyak belajar dari kaum muslimin. Hanya sampai sejauh mana barat telah benar-benar belajar dari para pemikir dan sufi Islam pada abad-abad pertengahan, ketika cahaya filsafat dan ilmu pengetahuan yang memancar dari pusat-pusat kebudayaan di Spanyol menerangi seluruh Eropa-Kristen, inilah yang masih merupakan masalah yang membutuhkan penelitian dan pengkajian yang terinci. Tapi yang pasti, hutang barat terhadap kaum muslimin begitu besarnya. Bahkan adanya hal yang benar-benar aneh kalau para tokoh seperti Santo Thomas Aquinas, Echart, dan Dante dianggap tidak terkena dampak sumber ini. Karena toh tasawwuf merupakan medan yang mempererat kontak antara Kristen zaman pertengahan dengan yang Islam.”
This entry was posted
on Wednesday, March 11, 2009
at 8:51 AM
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.